Selama ini lingkaran setan hubungan kekuasaan dan kekayaan dipercaya banyak terjadi di dalam sistem politik demokrasi. Lingkaran dimana uang dipakai untuk mendapatkan kekuasaan dan kekuasaan digunakan untuk mengeruk uang (money to power, power to money). Suatu anggapan yang sudah berkembang di tengah masyarakat. Hal ini kemudian yang diperkuat oleh hasil penelitian wakil ketua DPR Pramono Anung untuk menyelesaikan program doktoralnya di Universitas Padjadjaran Bandung.
Dari penelitian itu didapat kesimpulan bahwa DPR memang banyak dihuni para pekerja yang sekadar mencari nafkah, bukan tempat para idealis memperjuangkan kepentingan rakyat. Penelitian dengan tema motivasi menjadi anggota dewan itu hasilnya menunjukkan bahwa motivasi terbesar seseorang masuk ke DPR ialah faktor ekonomi.
Hasil penelitian itu membuat kita kian paham mengapa anggota DPR rajin membuat kebijakan yang langsung menambah pundi-pundi mereka. Selain mendapat honorarium tetap sebagai wakil rakyat, mereka menerima pula tunjangan komunikasi, transportasi, listrik, beras, dan aneka tunjangan lainnya.
Mereka membangun kompleks perumahan DPR dengan biaya ratusan miliar rupiah.
Akan tetapi, rumah tersebut tidak dihuni. Sebagai gantinya mereka malah minta uang akomodasi. Meski dikecam, mereka tetap saja pelesiran ke luar negeri dengan kemasan studi banding. Di mancanegara mereka berbelanja. Mereka pun tetap malas mengikuti rapat. Sering rapat dimulai terlambat, bahkan ditunda-tunda, karena tidak memenuhi kuorum. Begitulah, DPR berubah menjadi tempat orang-orang malas yang mencari nafkah, bahkan menjadi kaya dengan bergelimang tunjangan dan kemudahan. (lihat).
Diluar fakta yang terungkap dalam penelitian itu, sebenarnya ada fakta lain yang secara luas dipercaya oleh masyarakat terjadi di pentas politik. Yaitu bahwa para wakil rakyat bukan hanya memperkaya diri sendiri tetapi juga harus mengembalikan modal yang di dapat dari para pemodal dan koleganya untuk biaya politik pencalonannya. Jika tidak secara langsung maka dengan menjadi broker untuk bisa memberikan proyek-proyek kepada para pemodal. Jika perlu dibuat peraturan perundang-undangan yang memuluskan semua itu dan menjadikannya legal.
Kasus mafia anggaran, kasus korupsi di Depnakertrans yang juga melibatkan orang-orang DPR, kasus wisma atlit, kasus Hambalang, dan sebagainya hanya sebagian fakta yang menegaskan hal itu.
Kenapa semua itu terjadi? Jawabannya adalah bahwa semua itu merupakan akibat logis dari penerapan sistem kapitalisme dengan politik demokrasinya. Kapitalisme mengajarkan asas manfaat sebagai pondasinya dan keuntungan materi sebagai tolok ukurnya. Kapitalisme mengajarkan bahwa segala upaya dan pengorbanan manusia itu harus bisa mendatangkan keuntungan materi. Kapitalisme mendorong setiap orang menghitung apa saja yang dilakukannya dalam konteks untung rugi materi. Dalam kamus kapitalisme tidak dikenal yang namanya pengorbanan. Sebab yang ada adalah investasi. Berapa yang dikeluarkan dan berapa yang didapat sebagai imbalannya atau berapa yang harus diperoleh untuk mengembalikan modal atau biaya yang dikeluarkan disertai sekian persen keuntungan.
Dalam pentas politik, doktrin-doktrin itu diwadahi dalam sistem politik demokrasi. Sistem ini bertumpu pada sistem perwakilan dimana “wakil-wakil rakyat” dipilih secara periodik oleh masxarakat, disamping penguasa yang juga dipilih langsung oleh masyarakat secara periodik yang sama. Sistem politik demokrasi ini sarat modal.
Mengingat untuk pencalonan dan proses pemilihan diperlukan biaya yang tidak sedikit. Biaya itu bisa berasal dari kantong sendiri atau kebanyakan dari sponsor yaitu para pemodal. Karena itu dengan doktrin kapitalisme diatas, ketika seorang wakil berhasil terpilih, hal pertama yang menjadi fokus dia adalah bagaimana mengembalikan modal yang dikeluarkan dan berikutnya mengumpulkan modal untuk proses periode berikutnya.
Disamping bagaimana mengembalikan biaya kepada sponsor tentu ditambah keuntungan. Keuntungan yang rasional minimal adalah sesuai dengan tingkat bunga yang diberikan oleh perbankan seandainya modal tadi misalnya didepositokan. Karena itu terjadilah lingkaran setan uang dan kekuasaan. Uang digunakan untuk meraih kekuasaan dan kekuasaan yang diperoleh digunakan untuk mengumpulkan uang dan berikutnya uang yang dikumpulkan itu untuk meraih kekuasaan dan begitu seterusnya. Fenomena yang diungkap oleh penelitian Pramono Anung itu memang menjadi tabiat dan cacat bawaan demokrasi. Karena sudah merupakan konsekuensi logis dari sistem politik demokrasi yang sarat modal. Sehingga selama sistem politiknya masih sama, maka fenomena itu akan tetap ada. Fenomena itu hanya akan bisa dihilangkan kalau sistem politiknya diubah secara total menjadi sistem politik yang berpijak pada politik ri’ayah dan tidak sarat biaya. Sistem politik yang seperti itu hanya sistem politik Islam. Karenanya untuk menghilangkan fenomena itu hanya bisa dengan penerapan sistem poltitik Islam menggantikan sistem politik demokrasi yang ada saat ini. [Yahya Abdurrahman, LS-HTI]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar