Ustadz HM Ismail Yusanto: #Khilafah Justru Untuk Kebaikan Negeri Ini
Pengantar:
Selama bulan Mei-awal Juni 2013 ini, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyelenggarakan Muktamar Khilafah (MK) di 31 kota besar di seluruh Indonesia, dari Aceh hingga Papua. Puncaknya adalah di Jakarta pada 2 Juni 2013. Tentu layak diketahui, apa yang menjadi latar belakang HTI menyelenggarakan MK ini? Apa target dan tujuannya? Mengapa pula MK ini mengambil tema, “Perubahan Besar Dunia Menuju Khilafah”? Apa pula kaitan kegiatan MK ini dengan persoalan keindonesiaan saat ini?
Itulah di antara beberapa pertanyaan yang diajukan Redaksi kepada Juru Bicara HTI, Ustadz HM Ismail Yusanto, dalam kesempatan wawancara kali ini. Berikut petikannya.
Selama bulan Mei hingga awal Juni HTI mengadakan Muktamar Khilafah (MK) di seluruh Indonesia. Apa yang melatarbelakangi penyelenggaraan MK kali ini?
Ya memang, sepanjang bulan Mei hingga awal Juni ini, HTI insya Allah akan menyelenggarakan Muktamar Khilafah (MK). Acara ini bakal menjadi event terbesar yang diselenggarakan HTI selama ini. Sebelumnya, tahun 2007, HTI juga pernah menyelenggaraka n Konferensi Khilafah Internasional (KKI) di Gelora Bung Karno, Jakarta, yang dihadiri tidak kurang dari 100 ribu orang dari seluruh penjuru Indonesia. Namun kali ini, event ini tidak hanya akan diselenggarakan di Jakarta, tetapi juga di berbagai kota di Indonesia yang secara total akan diikuti oleh lebih dari 200 ribu peserta.
MK itu sendiri diselenggarakan sebagai medium untuk mengokohkan visi dan misi perjuangan umat untuk tegaknya kembali kehidupan Islam. Visi dan misi ini penting untuk terus ditegaskan dan dikokohkan, apalagi di tengah arus perubahan besar yang tengah terjadi di berbagai belahan dunia. Lihatlah apa yang tengah terjadi di Timur Tengah, di kawasan Asia Tengah, Asia Selatan, juga Eropa dan Amerika Serikat (AS).
MK diselenggarakan di berapa kota?
Muktamar Khilafah tahun ini insya Allah akan diselenggarakan di 31 kota. Dari Banda Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Bangka Belitung, Batam, Palembang, Lampung, Semarang, Yogya, Banjarmasin, Samarinda, Makassar, Palu, Kendari hingga Ambon, Sorong, dan Jayapura. Yang paling awal 5 Mei 2013 di Jogjakarta, Kendari, Semarang dan paling akhir di Gelora Bung Karno pada 2 Juni 2013
Berapa orang yang akan mengikuti MK kali ini dan dari kalangan mana saja?
MK di Gelora Bung Karno, Jakarta, Insya Allah akan diikuti oleh sekitar 100 ribu peserta. Di tempat lain, bervariasi tergantung situasi dan kondisi di daerah itu. Di Yogyakarta, misalnya, insya Allah akan diikuti oleh 15 ribu peserta, di Surabaya sekitar 60 ribu, di Lampung 10 ribu, di Medan 20 ribu, di Kendari 25 ribu, di Ambon dan Sorong mungkin hanya sekitar 500 orang.
Apa yang diharapkan dari peserta yang datang dari berbagai kalangan, profesi dan posisi di masyarakat itu?
Kita berharap ide khilafah ini makin didukung oleh segenap lapisan masyarakat; bukan hanya dari kalangan tertentu saja seperti ulama atau kalangan cerdik pandai, tetapi juga rakyat biasa, pengusaha dan sebagainya. Ini karena perjuangan untuk tegaknya syariah dan Khilafah adalah kewajiban seluruh umat Islam tanpa kecuali.
MK mengambil tema, “Perubahan Besar Dunia Menuju Khilafah”. Apa yang menjadi latar belakangnya?
Kita tahu, dunia saat ini tengah bergejolak. Perubahan politis, terutama di Timur Tengah, tengah berlangsung secara drastis. Tema Perubahan Besar Dunia Menuju Khilafah itu diambil untuk mengingatkan bahwa perubahan sesungguhnya adalah sebuah keniscayaan. Namun, perubahan tanpa arah yang benar tidak akan memberi manfaat, seperti yang selama ini terjadi, termasuk di negeri ini. Itu tak ubahnya seperti keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Nah, melalui muktamar ini, HTI ingin menunjukkan bahwa arah perubahan yang semestinya adalah menuju tegaknya Khilafah.
Apa pesan utamanya?
Pesan utama yang ingin disampaikan adalah bahwa umat harus turut serta dan semestinya menjadi motor penggerak utama perubahan politik dimanapun ia berada. Namun, bukan sekadar perubahan. Tegaknya kembali Khilafah, itulah yang semestinya dituju oleh umat Islam di tengah gejolak arus perubahan politik besar dunia saat ini.
Lalu apa nilai strategis dari MK ini untuk umat pada tingkat global dan untuk Indonesia sendiri?
Kita berharap Muktamar Khilafah mampu memberi arah bagi perubahan yang tengah terjadi di berbagai wilayah. Meski gejolak politik seperti yang tengah berlangsung di Timur Tengah tidak terjadi di Indonesia, hawa perubahan juga berhembus kencang hingga negeri ini. Melalui MK ini, HTI ingin mengingatkan bahwa setelah hancurnya sosialisme-komunisme dan makin rapuhnya kapitalisme, maka masa depan dunia, termasuk negeri ini, tidak lain adalah dengan Islam, bukan yang lain.
Sebagian kalangan menyebut ide khilafah sebagai ancaman bagi NKRI. Bagaimana menurut Ustadz?
Secara riil, ada dua ancaman utama terhadap negeri ini, yakni sekularisme yang makin memurukkan negeri ini dan neo-imperialisme atau penjajahan model baru yang dilakukan oleh negara adikuasa.
Sejak Indonesia merdeka, telah lebih dari 60 tahun negeri ini diatur oleh sistem sekular, baik bercorak sosialistik pada masa Orde Lama maupun kapitalistik pada masa Orde Baru dan neoliberal pada masa reformasi. Dalam sistem sekular, Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja, misalnya pada saat shalat, puasa, zakat, haji, kelahiran, pernikahan dan kematian. Dalam urusan sosial kemasyarakatan, Islam ditinggalkan. Karena itu di tengah-tengah sistem sekularistik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai Islam, yakni tatanan ekonomi kapitalis, perilaku politik yang oportunis dan machiavelis, budaya hedonis yang amoral, kehidupan sosial yang egois dan individualis, sikap beragama yang sinkretis serta sistem pendidikan yang materialistik.
Akibatnya, bukan kebaikan yang diperoleh oleh rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim itu, melainkan berbagai problem berkepanjangan yang datang secara bertubi-tubi. Lihatlah, meski Indonesia adalah negeri yang amat kaya dan sudah lebih dari 60 tahun merdeka, sekarang ada lebih dari 100 juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan. Puluhan juta angkatan kerja menganggur. Jutaan anak putus sekolah. Jutaan lagi mengalami malnutrisi. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga yang terus menerus terjadi. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan serta pembunuhan dan tindak asusila, budaya permisif, pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa semakin meningkat tajam. Wajar bila lantas orang bertanya, sudah 60 tahun merdeka, hidup koq makin susah.
Ancaman kedua, neo-imperialisme. Indonesia memang telah merdeka, tetapi penjajahan ternyata tidaklah berakhir begitu saja. Nafsu negara adikuasa untuk tetap melanggengkan dominasi mereka atas Dunia Islam, termasuk terhadap Indonesia, demi kepentingan ekonomi dan politik mereka tetap bergelora. Neo imperialisme dilakukan untuk mengontrol politik pemerintahan dan menghisap sumberdaya ekonomi negara lain. Melalui instrumen hutang dan kebijakan global, lembaga-lembaga dunia seperti IMF, World Bank dan WTO dibuat tidak untuk sungguh-sungguh membantu negara berkembang, ettapi sebagai cara untuk melegitimasi langkah-langkah imperialistik mereka. Akibatnya, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia tidak lagi merdeka secara politik. Penentuan pejabat misalnya, khususnya di bidang ekonomi, harus memperturutkan apa mau mereka. Wajar bila kemudian para pejabat itu bekerja tidak sepenuhnya untuk rakyat, ettapi untuk kepentingan “tuan-tuan’ mereka. Demi memenuhi kemauan “tuan-tuan” itu, tidak segan mereka merancang aturan (lihatlah UU Kelistrikan, juga UU Migas dan UU Penamanan Modal dan UU sejenis yang penuh dengan kontroversi) dan membuat kebijakan yang merugikan negara (lihatlah penyerahan blok kaya minyak Cepu kepada Exxon Mobil, juga pembiaran terhadap Exxon yang terus mengangkangi 80 triliun kaki kubik gas di Natuna meski sudah 25 tahun tidak diproduksi dan kontrak sudah berakhir Januari 2007 lalu). Tak pelak lagi, rakyatlah yang akhirnya menjadi korban, seperti yang kita saksikan sekarang.
Jadi, sejatinya ide khilafah yang ditawarkan HTI dimaksudkan untuk menyelamatkan Indonesia, seperti tercermin dalam slogan “Selamatkan Indonesia dengan Syariah dan Khilafah”?
Ya, betul sekali. Syariah akan menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan akibat sistem sekular. Khilafah akan menghentikan neo-imperialisme yang kini tengah menimpa negeri-negeri Islam, termasuk Indonesia, yang dilakukan oleh negara adikuasa. Kejahatan adikuasa hanya mungkin bisa dihentikan oleh kekuatan adikuasa juga. Itulah Khilafah.
Namun, sebagian kalangan menganggap HTI tidak memiliki spirit kebangsaan. Bagaimana menurut Ustadz?
Bergantung pada apa yang dimaksud dengan nilai-nilai kebangsaan di situ. Bila yang dimaksud adalah komitmen pada keutuhan wilayah, HTI berulang menegaskan penentangannya terhadap gerakan separatisme dan segala upaya yang akan memecah-belah wilayah Indonesia. Menjelang jajak pendapat Timor Timur beberapa tahun lalu, misalnya, HTI sejak awal menentang keras karena itu akan menjadi jalan bagi Timor Timur lepas. Benar saja, akhirnya terbukti Timor Timur setelah jajak pendapat yang penuh rekayasa itu benar-benar lepas dari Indonesia.
Bila nilai kebangsaan artinya adalah pembelaan terhadap kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia, HTI berulang juga dengan lantang menentang sejumlah kebijakan yang jelas-jelas bakal merugikan rakyat Indonesia seperti protes terhadap pengelolaan SDA yang lebih banyak dilakukan oleh perusahaan asing; atau penolakan terhadap sejumlah UU seperti UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal dan sebagainya yang sarat dengan kepentingan pemilik modal.
Namun, bila nilai kebangsaan artinya adalah kesetiaan pada sekularisme, maka dengan tegas HTI menolak karena justru sekularisme inilah yang telah terbukti memurukkan Indonesia seperti sekarang ini. Maka dari itu, benar sekali fatwa MUI tahun 2005 yang mengharamkan sekularisme.
Jadi apakah semua itu adalah wujud dari kecintaan HTI terhadap negeri ini?
Betul sekali. Dakwah HTI dilakukan adalah demi Indonesia ke depan yang lebih baik. Bila hancurnya Khilafah disebut sebagai ummul jara’im, maka diyakini bahwa tegaknya kembali syariah dan Khilafah akan menjadi pangkal segala kebaikan, kerahmatan dan kemashla-hatan, termasuk bagi Indonesia.
Karena itu dalam konteks Indonesia, ide khilafah yang substansinya adalah ukhuwah, syariah dan dakwah, sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajahan baru (neo-imperialisme) yang nyata-nyata sekarang tengah mencengkeram negeri ini yang dilakukan oleh negara adikuasa. Hanya melalui kekuatan global, penjajahan global bisa dihadapi secara sepadan. Adapun syariah nantinya akan menggantikan sekularisme yang telah terbukti memurukkan negeri ini. Karena itu pula, perjuangan HTI, termasuk penyelenggarakan acara Muktamar Khilafah ini harus dibaca sebagai bentuk kepedulian yang amat nyata dari HTI dalam berusaha membawa arus perubahan di negeri ini ke arah yang lebih baik di masa datang.
Kalau begitu, mengapa ada tuduhan bahwa Khilafah akan mengancam NKRI?
Ada banyak kemungkinan. Bisa karena tidak paham substansi dari syariah dan Khilafah. Bisa juga karena memang tidak suka pada ide ini. Mereka yang tidak paham, insya Allah tidak sulit dipahamkan. Dengan sedikit penjelasan, biasanya mereka akan mudah memahami apa sesungguhnya ancaman yang tengah menimpa negeri ini dan apa substansi Khilafah yang tidak lain adalah justru untuk menyelamatkan negeri ini dari ancaman itu.
Adapun yang tidak suka bisa jadi karena ada penyakit dalam hatinya, bisa juga karena mereka telah diuntungkan oleh sistem sekular yang ada sekarang ini. Dari sini sebenarnya kita bisa mengatakan bahwa mereka yang menentang ide syariah itu tidak menginginkan Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim dan mengakui bahwa kemerdekaan negeri terjadi atas berkat rahmat Allah, menjadi lebih baik pada masa mendatang. Mereka juga berarti menginginkan penjajahan (baru) tetap terus berlangsung karena mereka turut diuntungkan meski itu telah menyengsarakan rakyat banyak.
Lalu apa yang harus dilakukan ke depan agar solusi tersebut bisa dipahami dan diterima oleh masyarakat?
Di sinilah pentingnya dakwah. Penyelenggaraan Muktamar Khilafah yang dilakukan secara masif di 31 kota besar di Indonesia itu juga merupakan bentuk dakwah. Dakwah intinya adalah penjelasan yang argumentatif; yang menggugah akal, menggetarkan jiwa dan menyentuh perasaan. Kita memang belum lama keluar dari masa yang cukup panjang—lebih dari 30 tahun Orde Baru—saat kita tidak mempunyai kesempatan cukup untuk berbicara tentang ide penting dalam Islam yakni syariah dan Khilafah. Wajar bila kini banyak sekali orang yang tidak paham atau salah paham terhadap soal itu selain tidak sedikit juga mereka yang tidak mau paham.
Menghadapi kenyataan ini, kita memang harus sabar. Juga diperlukan kecanggihan kita dalam menyampaikan penjelasan. Pasalnya, pada saat yang sama ada juga “dakwah” yang justru makin mendistorsi pemahaman masyarakat. Namun yakinlah, cepat atau lambat pasti kebenaran akan diterima meski dihalangi begitu rupa, karena manusia memang diciptakan cenderung pada kebenaran.
Namun, kontroversi itu mungkin memang akan berlangsung terus. Sampai kapan? Hingga syariah dan khilafah telah benar-benar tegak. Saat itulah semua kebenaran akan terbukti dan akan berhenti pula segala ocehan tak berarti. Insya Allah. WalLahu a’lam bi ash-shawab. []
Mari songsong kelahiran dunia baru yang menyejahterakan umat di bawah naungan Syariah dan Khilafah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar