Oleh: Dr. Adian Husaini
ACARA diskusi Irshad Manji, yang bertema “Agama, Kebebasan,
dan Keberanian Moral”, di Kampus Universitas Gajah Mada (UGM), 9 Mei 2012
dibatalkan pimpinan Universitas. Situs www.merdeka.com (9/5/2012) memberitakan bahwa dalam akun
twiternya, Irshad Manji menyebut, Rektor UGM-lah yang membatalkan diskusi yang
diselenggarakan diCenter
for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) –pasca sarjana UGM tersebut. [baca juga: Acara Irshad Manji di Yogyakarta Berantakan]
Berbagai
pihak kemudian menyesalkan dan memberikan kecaman terhadap keputusan pembatalan
diskusi Irshad Manji tersebut. Direktur CRCS, Dr. Zainal Abidin Bagir,
seperti dikutip situs yang sama menyatakan, “Terlalu cepat tunduk pada ancaman
berarti hidup dalam dan menghidupi atmosfer kekerasan itu. Apakah kita
(UGM) sudah hidup dan bernafas dari menghirup udara di atmosfer itu?”
Situs http://indonesiabuku.com, (10/5/2012)
menulis judul berita “Rektor UGM Tolak Pemikiran Irshad Manji”.
Dikabarkan, ada pihak sangat kecewa karena Rektor UGM, Prof. Ir. Soedjarwadi,
M.Eng., Ph.D. telah membunuh demokrasi. Beberapa media melaporkan
pernyataan M. Syafii Maarif yang meminta diskusi bersama Irshad Manji harus
tetap diadakan. “Saya rasa kampus harus tetap bebas dan punya nyali.
Kenapa kampus harus takut dengan ancaman?” kata Syafii, Rabu (9/5/2012),
seperti dikutip metrotvnews.com.
Situs
mediaindonesia.com (9/5/2012) bahkan menulis berita dengan judul “Pelarangan
Irshad Manji Buktikan Tipisnya Toleransi Perbedaan”. Dikutip pernyataan
Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos yang menyatakan, bahwa
pelarangan terhadap Irshad Manji menunjukkan semakin menipisnya toleransi di
tengah masyarakat. “Amat disayangkan, kalau perguruan tinggi membatalkan
kegiatan akademik, semacam diskusi,” kata Bonar.
*****
Sebenarnya, bicara soal kebebasan – dalam bidang apa pun –
kita tentu sepakat, bahwa di setiap kampus, dan di komunitas atau lembaga
mana pun, pasti diterapkan “ kebebasan” secara terbatas. Kebebasan selalu
dibatasi dengan hukum formal atau norma-norma tertentu yang hidup di
tengah masyarakat, yang biasanya tidak tertulis. Meskipun tidak tertulis,
seorang mahasiswa biasanya tidak berani memanggil dosennya dengan nama si dosen
saja. Padahal, tidak ada larangan untuk itu.
Seorang
anak bebas bicara pada orangtuanya. Tapi, pada umumnya, seorang anak
tidak akan bertanya kepada ayahnya, “Maaf, Ayah, bisakah saya mendapatkan
bukti ilmiah, yang empiris dan rasional, bahwa saya anak Ayah?”
Soal
“kebebasan akademik” di dalam kampus, sudah diatur dalam pasal 22,
UU Sisdiknas, UU No. 20/2003: “Dalam penyelenggaraan pendidikan dan
pengembangan ilmu pengetahuan pada perguruan tinggi berlaku kebebasan
akademik dan kebebasan mimbar akademik secara otonomi keilmuan.”
Jadi,
kebebasan akademik dan kebebasan mimbar, seharusnya berkaitan dengan
penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam konteks
inilah kita bisa menilai, apakah tepat mengundang seorang Irshad Manji ke
lembaga keislaman dan Perguruan Tinggi. Tentu akan muncul berbagai
pendapat, yang bisa jadi saling berlawanan, tergantung ‘pandangan alam’
(worldview) si pengamat masalah.
Seorang
sekular-liberal yang telah melepaskan diri dari nilai-nilai Ketuhanan dan
keakhiratan, tentu sangat berkepentingan dengan promosi Irshad Manji.
Apalagi, dia orang berkewarganegaraan Barat (Kanada), menulis dalam bahasa
Inggris, yang biasanya bagi sebagian orang “bermental jajahan”
dianggap simbol kehebatan sebuah peradaban. Apalagi, Irshad Manji mempromosikan
pola pikir liberal terhadap al-Quran dan ajaran-ajaran Islam lainnya.
Terlebih
lagi, dia sangat berani menyatakan diri sebagai MUSLIMAH LESBIAN. Bagi kaum
liberal, ini komoditas yang menarik! Belum lagi, dukungan media Barat dan
lembaga-lembaga keuangan tertentu di Barat terhadap aktivitas dan gagasan si
Manji. Maka, lengkaplah sudah unsur-unsur yang membuat Irshad Manji patut
dibanggakan sebagai “seorang liberal yang sempurna”.
Bagi kaum
liberal, yang terpenting adalah kebebasan. Tentu, selama kebebasan itu
tidak menyinggung kepentingan dan kelemahan mereka. Sebab, biasanya, kaum
liberal juga tidak akan suka jika unsur-unsur kelemahan dirinya dicerca.
Dan itu manusiawi, sehingga dalam KUHP pun diatur soal pasal pencemaran nama
baik.
Seorang
liberal yang mulutnya terlalu lebar, mungkin tak akan suka jika dipanggil
dengan kekurangan fisik pada mulutnya. Di sini, manusia menjadi tidak
bebas!
Konon, ada
sebuah klub nudis (telanjang), yang dibentuk dengan alasan ingin bebas dari
segala peraturan, terutama dalam soal pakaian. Mereka benar-benar ingin bebas
dari segala macam peraturan. Uniknya, dalam klub mereka, dibuatlah peraturan:
siapa pun yang bergabung dengan mereka, maka harus telanjang!
*****
Bagi seorang Muslim yang memegang teguh aqidah dan worldview Islam,
sejak awal sudah memegang teguh pemahaman, bahwa kebebasan dalam Islam bukanlah
kebebasan melakukan tindakan apa saja – termasuk bicara apa saja. Bahkan, di dalam kitab-kitab Tauhid
untuk sekolah dasar, sudah diajarkan “hukum riddah”, yang salah
satu bentuknya: seorang bisa rusak keislamannya, karena ia mengucapkan
kata-kata buruk yang merusak keimanannya. Bertindak pun tidak
bebas. Bahkan, berprasangka saja ada aturannya; alias tidak bebas! Kita
dilarang untuk berprasangka buruk dalam hal-hal tertentu.
Karena itu,
Muslim punya kebebasan hanya untuk memilih yang baik (khayr). Muslim
tidak bebas memilih yang jahat. Muslim tidak bebas untuk berzina,
korupsi, menyuap, apalagi berpraktik homo dan lesbi. Bahkan, Muslim
dilarang menyakiti dan membunuh dirinya sendiri, dengan alasan tubuhnya adalah
miliknya secara mutlak. Muslim pun tidak bebas mengatur hartanya, tanpa
berpedoman pada aturan Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Karena
itulah, seorang Muslim yang memahami dan memegang teguh worldview Islam, tidak
mungkin berpikiran bebas, tanpa batas-batas yang sudah ditentukan oleh Sang
Pencipta. Itulah makna dari syahadat yang diucapkannya: “Saya bersaksi bahwa
tidak ada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
Allah.” Sangat aneh, jika orang mengaku Muslim, membaca dua kalimah
syahadat, tetapi menolak untuk tundak pada ketentuan Allah dan Rasul-Nya.
Irshad
Manji: Salam Pantat!
Dalam
kerangka worldview Islam, sangat mudah bagi seorang Muslim untuk memahami
dan mendudukkan kasus Irshad Manji. Irshad Manji adalah
lesbi, dan dia begitu bangga dalam mempromosikan kelesbiannya. Manji juga
sangat bersahabat bahkan menyokong pandangan dan sikap Salman Rushdie, seorang
yang sangat biadab dalam melakukan penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW.
Dengan logika sederhana sekali, kita bisa mengatakan, bahwa
mengundang seorang lesbi seperti Irshad Manji untuk berbicara di Kampus adalah
sangat tidak patut dan tidak cerdas. Kecuali, jika Manji berceramah di
komunitas lesbian dan komplek lokalisasi pelacuran. Mengapa? Di dalam Islam,
orang yang melakukan dosa, tapi mengakui perbuatannya dosa, masih jauh lebih
baik baik daripada seorang yang menghalalkan – apalagi bangga dengan – perbuatan dosa.
Seorang
pelacur atau koruptor masih terbuka pintu taubat baginya, jika dia sadar, bahwa
yang dia kejakan adalah salah, dan dia mau bertobat secara sungguh-sungguh.
Tapi, ini akan berbeda sama-sekali dengan pelacur atau koruptor yang malah
berbangga dengan tindakannya; sebab ia telah menyenangkan atau membantu orang
lain. Misalnya, kasus seorang pelacur mantan aktivis mahasiswi di Yogya yang
kemudian menulis memoar berjudul: “TUHAN IZINKAN AKU MENJADI PELACUR.”
Dengan
kebanggaan sebagai Lesbi, Irshad Manji sebenarnya sama posisinya dengan pezina.
Bahkan, lebih dari itu, dia bangga berbuat zina. Dalam buku terbaru yang
dipromosikan di Indonesia kali ini, “Allah, Liberty and Love, Suatu Keberanian
Mendamaikan Iman dan Kebebasan”, dia banyak mengungkap kebanggaannya
sebagai seorang lesbi. Ia pun tak malu-malu mengatakan siapa pasangan hidupnya
(entah sebagai suami atau istri). Bahkan, kata-kata yang digunakan Manji
dalam berbagai bagian buku ini sangat vulgar, jauh dari nuansa akademis.
Di buku
ini, misalnya, Irshad Manji menulis, bahwa ia mendapatkan sebuah
pertanyaan dari seorang yang tak menyebutkan namanya (anonim): “Mantan-saudari
se-Islam, Irshad: Apa agama pasangan lesbi Anda? Yahudi?”
Irshad
Manji menjawab: “Aku bertemu pasanganku di gereja Anglikan, ketika menghadiri
kebaktian sebagai bagian dari penelitianku untuk program TV baru. Terkait
pertanyaanmu, aku meminta dia berterus terang mengenai agamanya. Aku menuntut
kebenaran. Jawaban dia, “Panggil saja aku Shlomo.” Aku masih menyesuaikan
diri.”
Ada lagi
pertanyaan seorang yang ditulis identitasnya oleh Manji sebagai
“Mo”. Orang ini bertanya: “Kami mestinya menendang pantatmu ke neraka,
biar bisa merasakan api neraka membakarmu hidup-hidup. Kau memang sepalsu
neraka, jangan muncul dengan buku-buku bodohmu tentang Islam. (Mo).
Jawab
Irshad Manji: “Biar aku luruskan, Mo. Aku ini sepalsu “neraka,” tapi
pantatku harus ditendang “ke neraka”—yang menurut penjelasanmu, adalah tujuan yang “palsu”? Mau
coba lagi?”
Irshad
Manji tampaknya sangat menikmati pertanyaan-pertanyaan dan hujatan-hujatan
kasar, sehingga memberi kesempatan padanya untuk mempertontonkan kemampuannya
untuk berkata dan bersikap lebih kasar! Berikut ini contoh lain,
soal-jawab yang dimuat dalam buku yang telah didiskusikan di UIN Jakarta,
Maarif Institute, AJI, dan beberapa tempat lain di Indonesia. Seorang bernama
Falaha ditulis mengirimkan pertanyaan kepada Manji:
“Izinkan
aku mengawali dengan mengatakan, betapa bermanfaat buku Anda sesungguhnya.
Menurutku, ternyata, buku itu jauh lebih murah digunakan sebagai tisu toilet
ketimbang paket tisu toilet biasa. Tapi, aku ada keluhan:
lembaran-lembarannya sedikit kasar di bagian tertentu, sementara kulitku
sensitif. Lalu, terlintas ide bagus. Buku kamu akan bertambah laku kalau
disertai pelembab… Tolong beritahu, kalau kau setidaknya memikirkan ide ini.
Aku jamin, ini ada gunanya bagi penjualan bukumu, walau aku lebih suka metode
kebersihan yang tradisional. Tentang citra kamu, tak banyak yang bisa aku
katakan atau sarankan untuk perbaikan. Menyewa seorang humas mungkin ada
gunanya (atau memecat yang sekarang). Sukses dan terus menulis. (Falaha).”
Terhadap
pertanyaan yang dimuat sendiri dalam bukunya, Irshad Manji menjawab sebagai
berikut:
“Salam
pantat kasar! Mengenai masalah pencitraanku, aku bukan orang yang mengumbar
kebiasaanku di kamar mandi pada dunia. Tapi aku lega (begitulah kira-kira),
kalau jadwal buang air besarmu kelihatannya teratur. Dan artinya, kau mengambil
bukuku secara teratur juga. “Intinya”, aku tak pernah butuh humas, selama aku
memilikimu.”
Melalui berbagai bagian dalam buku ini, Irshad Manji sangat jelas
mempromosikan gagasan lesbiannya. Misalnya, pandangannya tentang pemahaman
terhadap kisah kaum Luth dalam al-Quran, ia menulis: “Nah sekali lagi,
patahkan keyakinan dengan ayat-ayat Al-Quran sederhana yang mendorongmu untuk
tidak terlalu berlebihan dengan ayat-ayat yang tersirat. Cerita Sodom dan
Gomorah—kisah Nabi Luth dalam
Islam—tergolong tersirat (ambigu).
Kau merasa yakin kalau surat ini mengenai homoseksual, tapi sebetulnya bisa
saja mengangkat perkosaan pria “lurus” oleh pria “lurus” lainnya sebagai
penggambaran atas kekuasaan dan kontrol. Tuhan menghukum kaum Nabi Luth karena
memotong jalur perdagangan, menumpuk kekayaan, dan berlaku tidak hormat
terhadap orang luar. Perkosaan antara pria bisa jadi merupakan dosa disengaja
(the sin of choice) untuk menimbulkan ketakutan di kalangan pengembara. Aku
tidak tahu apakah aku benar. Namun demikian, menurut Al-Quran, kaupun tidak
bisa yakin apakah kau benar. Nah, kalau kau masih terobsesi untuk mengutuk
homoseksual, bukankah kau justru yang mempunyai agenda gay? Dan sementara kau
begitu, kau tidak menjawab pertanyaan awalku: “Ada apa dengan hatimu yang sesat?”
Sulit dipungkiri, membaca buku Irshad Manji yang terbaru ini, juga
buku sebelumnya, memang jauh dari kesan dan bahasa akademis. Apakah ini ada
kaitan dengan kondisi kejiwaan seorang lesbian yang banyak mengalami
penderitaan di masa kecilnya? Wallahu A’lam. Yang jelas, seorang berinisial
“SR” menulis surat kepada Irshad Manji – yang juga dimuat di dalam buku Manji sendiri:
“Halo Nona
Irshad sang Lesbian Feminis Liberal. Aku seorang Muslim moderat yang
berpendidikan, dan kurasa kamu ini berkhayal demi ketenaran dan ketamakan. Nah,
ini judul yang bagus dan bisa kau pertimbangkan untuk buku-bukumu selanjutnya:
“Bagaimana aku bisa membodohi Barat agar berpikir homoseksualitas diterima
dalam Islam.” Satu lagi, “Bagaimana menjual dirimu pada setan.”
Membaca buku Irshad Manji, juga sikap dan akhlaknya, tampaknya
diperlukan pendekatan – bukan
hanya analisis kritis atas isi bukunya – pendekatan kejiwaan! Adalah luar biasa, bahwa Rektor UGM
Prof. Ir. Soedjarwadi, M.Eng., Ph.D. berani mengambil kebijakan menghentikan
diskusi Irshad Manji di CRCS-UGM. Sang Rektor telah bertindak berani – meskipun tidak populer di mata sebagian
orang – untuk menjaga kehormatan
kampusnya, dan juga menjaga kehormatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita
berharap, dari UGM dan kampus-kampus lain akan lahir manusia-manusia yang
beradab.*/Jakarta, 11 Mei 2012
Penulis Ketua Program Studi Pendidikan Islam—Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun
Bogor). CAP hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
kirain reportase kowe, jeng..
BalasHapusternyata orang lain.. -_____-"
yo wes.. mamang numpang lewat... :D
mamang anonim@ lagi males nulis reportase mang, hehe
BalasHapus